1. Pengertian
Menurut Hans (2012), Akuntansi adalah suatu sistem
informasi keuangan, yang bertujuan untuk menghasilkan dan melaporkan informasi
yang relevan bagi berbagai pihak yang berkepentingan. Dalam buku Akuntansi Basis
Pengambilan Keputusan Bisnis, Henry, Akuntansi (accounting) adalah proses
pengukuran aktivitas ekonomi entitas dalam satuan uang dan mengkomunikasikan
hasilnya kepada pihak yang
berkepentingan.
Sedangkan bagi Henry,
Akuntansi (accounting) adalah proses
pengidentifikasian, pencatatan, dan pengkomunikasian kejadian-kejadian
ekonomi suatu organisasi (perusahaan ataupun bukan perusahaan) kepada para pemakai informasi berkepentingan.
Supriyono menjelaskan
bahwa pengertian akuntansi keuangan adalah proses pencatatan dan penggolongan,
peringkasan, dan penyajian, dari transaksi keuangan suatu badan usaha dengan
cara yang sistematis, serta penafsiran terhadap hasilnya dari laporan-laporan
yang disajikan oleh akuntansi. Tujuan akuntansi keuanganadalah sebagai alat
pembantu untuk menjalankan fungsi, alat komunikasi dan pertanggungjawaban dari
manajemen kepada berbagai pihak yang menggunakan laporan keuangan, sesuai
kepentingan masing-masing pemakai.
Disisi lain Farid dan
Siswanto dalam Fahmi (2011) menyatakan: “Laporan keuangan merupakan informasi
yang mampu diharapkan mampu memberikan bantuan kepada pengguna untuk membuat
keputusan ekonomi bersifat finansial”.
2. Perkembangan
Akuntansi Di Indonesia
Praktik akuntansi di
Indonesia dapat ditelusuri pada era penjajahan Belanda sekitar 17 (ADB 2003)
atau sekitar tahun 1642 (Soemarso 1995). Jejak yang jelas berkaitan dengan
praktik akuntansi di Indonesia dapat ditemui pada tahun 1747, yaitu praktik
pembukuan yang dilaksanakan di Amphioen Sociteyt yang bekedudukan di Jakarta
(Soemarso 1995). Pada era ini Belanda mengenalkan sistem pembukuan berpasangan
(double-entry book keeping) sebagaimana yang dikembangkan oleh Luca Pacioli.
Perusahaan VOC milik Belanda yang merupakan organisasi komersial utama selama
masa penjajahan memainkan peranan penting dlam praktik bisnis di Indonesia selama era ini (Diga dan
Yunus 1997).
Kegiatan ekonomi pada
masa penjajahan meningkat cepat selama tahun 1800an dan awal tahun 1900an. Hal
ini ditandai dengan dihapuskannya tanam paksa sehingga pengusaha Belanda banyak
yang menanamkan modalnya di Indonesia. Peningkatan kegiatan ekonomi mendorong
munculnya permintaan akan tenaga akuntan dan juru buku yang terlatih.
Akibatnya, fungsi auditing mulai dikenalkan di Indonesia pada tahun 1907
(Soemarso 1995). Peluang terhadap kebutuhan audit ini akhirnya diambil oleh
akuntan Belanda dan Inggris yang masuk ke Indonesia untuk membantu kegiatan
administrasi di perusahaan tekstil dan
perusahaan maYunus 1990). Internal auditor yang pertama kali datang di
Indonesia adalah J.W Labrijn yang sudah berada di Indonesia pada tahun 1896 dan
orang yang pertama melaksanakan pekerjaan audit (menyusun dan mengontrol
pembukuan perusahaan) adalah Van Schage yang dikirim ke Indonesia pada tahun
1907 (Soemarso 1995).
Pengiriman Van Schagen
merupakan titik tolak berdirinya Jawatan Akuntan Negara-Government Account
Dienst yang terbentuk pada tahun 1915 (Soemarso 1995). Akuntan Publik yang
pertama adalah Frese & Hogeweg yang mendirikan kantor di Indonesia pada
tahun 1918. Pendirian kantor ini diikuti kantor akuntan yang lain yaitu kantor
akuntan H.Y.Voerens pada tahun 1920 dan pendirian Jawatan Akuntan
Pajak-Belasting Accountant Dienst (Soemarso
1995). Pada era penjajahan, tidak ada orang Indonesia yang bekerja sebagai
akuntan publik. Orang Indonesia pertama yang bekerja di bidang akuntansi adalah
JD Massie, yang diangkat sebagai
pemegang buku paada Jawatan Akuntan Pajak pada tanggal 21 September 1929
(Soemarso 1995).
Kesempatan bagi akuntan
lokal (Indonesia) mulai muncul pada tahun 1942-1945, dengan mundurnya Belanda
dari Indonesia. Sampai tahun 1947 hanta ada satu orang akuntan yang berbangsa
Indonesia yaitu Prof. Dr. Abutari (Soemarso 1995). Praktik akuntansi model
Belanda masih digunakan selama era setelah kemerdekaan (1950an). Pendidikan
dan pelatihan akuntansi masih didominasi
oleh sistem akuntansi model Belanda. Nasionalisasi
atas perusahaan yang dimiki Belanda dan pindahnya orang orang Belanda dari
Indonesia pada tahun 1958 menyebabkan kelangkaan akuntan dan tenaga ahli (Diga
dan Yunus 1997).
Pada pertengahan tahun
1980an, sekelompok tehknorat muncul dan memiliki kepedulian terhadap reformasi
ekonomi dan akuntansi. Kelompok tersebut berusaha untuk menciptakan ekonomi
yang lebih kompetitif dan lebih berorientasi pada pasar dengan dukungan praktik
akuntansi yang baik. Kebijakan kelompok tersebut memperoleh dukungan kuat dari
investor asing dan lembaga lembaga internasional (Rosser 1999). Sebelum
perbaikan pasar modal dan pengenalan
reformasi akuntansi tahun 1980an dan awal 1990an, dalam praktik banya ditemui
perusahaan yang memiliki tiga jenis
pembukuan, satu untuk menunjukkan gambaran sebenarnya dari perusahaan
dan untuk dasar pengambilan keputusan, satu untuk menunjukkan hasil yang
positif dengan maksud agar dapat digunakan untuk mengajukan pinjaman/kredit dari bank domestik dan asing,
dan satu lagi yang menunjukkan hasil negatif (rugi) untuk tujuan pajak (Kwik
1994).
Pada awal tahun 1990an,
tekanan untuk memperbaiki kualitas
pelaporan keuangan muncul seiring dengan terjadinya berbagai skandal pelaporan keuangan yang dapat mempengaruhi
kepercayaan dan perilaku investor. Skandal pertama adalah kasus Bank Duta (bank
swasta yang dimiliki oleh tiga yayasan yang dikendalikan presiden Suharto).
Bank Duta go public pada tahun 1990 tetapi gagal mengungkapkan kerugian
yang jumlah besar (ADB 2003). Bank Duta
juga tidak menginformasi semua informasi kepada Bapepam, auditornya atau
underwritter nya tentang masalah tersebut. Celakanya, auditor Bank Duta
mengeluarkan opini wajar tanpa pengecualian. Kasus ini diikuti oleh kasus Plaza
Indonesia Realty (pertengahan 1992) dan Barito Pacific Timber (1993). Rosser
(1999) mengatakan bahwa bagi pemerintah Indonesia, kualitas pelaporan keuangan
harus diperbiki jika memang pemerintah menginginkan adanya transformasi pasar
modal dari model “casino” menjadi model yang dapat memobilisasi aliran
investasi jangka panjang.
Berbagai skandal
tersebut telah mendorong pemerintah dan badan
berwenang untuk mengeluarkan kebijakan regulasi yang ketat berkaitan
dengan pelaporan keuangan. Pertama, pada September 1994, pemerintah melalui IAI
mengadopsi seperangkat standar akuntansi keuangan, yang dikenal dengan
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). Kedua, pemerintah bekerjasama dengan Bank Dunia
(World Bank) melaksanakan Proyek Pengembangan Akuntansi yang ditunjukkan untuk
mengembangkan regulasi dan melatih profesi akuntansi. Ketiga, pada tahun 1995,
pemerintah membuat berbagai aturan berkaitan dengan akuntansi dalam
Undang-Undang Perseroan Terbatas. Keempat, pada tahun 1995 pemerintah
memasukkan aspek akuntansi/pelaporan keuangan kedalam Undang-Undang Pasar Modal
(Rosser 1999).
Jatuh nilai rupiah pada
tahun 1997–1998 makin meningkatkan tekanan pada pemerintah untuk memperbaiki
kualitas pelaporan keuangan. Sampai awal 1998, kebangkrutan konglomerat,
collapsenya sistem perbankan,
meningkatnya inflasi dan pengangguran memaksa pemerintah bekerja sama dengan
IMF dan melakukan negosiasi atas berbagai paket
penyelamat yang ditawarkan IMF. Pada waktu ini, kesalahan secara tidak
langsung diarahkan pada buruknya praktik akuntansi dan rendahnya kualitas
keterbukaan informasi (transparency).
Periodisasi perkembangan
akuntansi di Indonesia.
Periodisasi
perkembangan akuntansi di Indonesia dapat dibagi atas : Zaman kolonial dan
zaman kemerdekaan.
1. Zaman
Kolonial Zaman VOC
Sebelum bangsa Eropa: Portugis, Spanyol, dan
Belanda masuk ke Indonesia transaksi dagang dilakukan secara barter. Cara ini
tidak melakukan pencatatan. Pada waktu orang – orang Belanda datang ke
Indonesia kurang lebih akhir abad ke-16, mereka datang dengan tujuan untuk
berdagang kemudian mereka membentuk perserikatan Maskapai Belanda yang dikenal
dengan nama Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) , yang didirikan pada
tahun 1602, sebagai peleburan dari 14 maskapai yang beroprasi di Hindia Timur.
Selanjutnya VOC membuka cabangnya di Batavia tahun 1619 dan di tempat-tempat
lain di Indonesia. Kemudian dibentuk jabatan Gubernur Jenderal untuk menangani
urusan-urusan VOC. Akhir abad ke-18 VOC mengalami kemunduran dan akhirnya
dibubarkan pada 31 Desember 1799.
Dalam kurun waktu itu,
VOC memperoleh hak monopoli perdagangan rempah-rempah yang dilakukan
secara paksa di Indonesia, dimana jumlah transaksi dagangnya, baik frekuensi
maupun nilainya terus bertambah dari waktu ke waktu. Pada tahun itu bisa
dipastikan Maskapai Belanda telah melakukan pencatatan atas mutasi transaksi
keuangan.
Dalam hubungan itu, Ans Saribanon Sapiie (1980), mengemukakan
bahwa menurut Stible dan Stroomberg, bukti autentik mengenai catatan
pembukuan di Indonesia paling tidak sudah ada menjelang pertengahan abad
ke-17.
Hal itu ditunjukkan
dengana adanya sebuah Instruksi Gubernur Jenderal VOC pada tahun 1642 yang
mengharuskan dilakukan pengurusan pembukuan atas penerimaan uang,
pinjaman-pinjaman, dn jumlah uang yang diperlukan untuk penegeluaran
(eksplorasi) garnisun-garnisun dan galangan kapal yang ada di Batavia dan
Surabaya.
Zaman Penjajahan
Belanda
Setelah VOC bubar pada
tahun 1799, kekuasaannya diambil alih oleh Kerajaan Belanda, zaman penjajahan
Belanda dimulai tahun 1800-1942. Pada waktu itu, catatan pembukuan menekankan
pada mekanisme debet dan kredit, yang diantara lain dijumpai pada
pembukuan Amphioen Socyteit di Batavia. Amphioen socyteit bergerak dalam
usaha morfin (amphioen) yang merupakan usaha monopoli di Belanda. Pada abad
ke-19 banyak perusahaan Belanda didirikan atau masuk ke Indonesia dengan
membuka cabang atau perwakilan, yang antara lain sebagai berikut :
a. Deli
Maatschaappij (perkebunan)
b. Biliton
Maatschaappij (timah)
c. Bataafche
Petroleum Maatschaappij (minyak)
d. Koninklijke
Paketvaart Maatschaappij (pelayaran nusantara), setelah dinasionalisasikan oleh
pemerintah RI menjadi perusahaan pelayaran nasional (PELNI)
e. Rotterdamsch
Lloyd (maskapai atau agen pelayaran internasional), setelah dinasionalisasikan
menjadi Djakarta Lloyd
f. Koninklijke
Nederlands Indische Luhtvaart Maatschaappij (penerbangan nusantara), setelah
dinasionalisasikan menjadi Garuda Indonesia Airways
g. Stoomvart
Maatschaappij Nederlands
h. Firma
Ruys of de Oost
i.
Nederlands Handel’s Bank
j.
Algeme Handel’s Bank
Untuk mengangkut
hasil produksi perkebunan dan tambang, dibuka jalan kereta api dari
daerah asal menuju ke pelabuhan. Kereta api yang pertama diadakan pada
tahun 1870 yang menghubungkan antara daerah pedalaman Jawa Tengah dengan
Semarang, menyusul dari pedalaman Jawa Barat ke pelabuhan Tanjung Priok, dari
pedalaman Jawa Timur ke pelabuhan Tanjung perak dan dri pedalaman Sumatra
Selatan ke Palembang. Di samping jalan kereta api juga dibangun dan/atau
ditingkatkan ke jalan darat untuk melancarkan arus produksi perkebunan dan
pertambangan ke kota-kota pelabuhan.
Catatan pembukuannya
merupakan modifikasi sistem Venesia-Italia, dan tidak dijumpai adanya kerangka
pemikiran konseptual untuk mengembangkan sistem pencatatan tersebut karena
kondisinya sangat menekankan pada praktik-praktik dagang yang semata-mata untuk
kepentingan perusahaan Belanda. Sedangkan, segmen bisnis menengah kebawah
dikuasai oleh pedagang keturunan, yaitu : Cina, India, dan Arab. Sejalan dengan
itu, ada kebebasan dalam penyelenggaraan pembukuan sehingga praktik
pembukuannya menggunakan atau dipengaruhi oleh sistem asal etnis yang
bersangkutan.
Sekilas Perkembangan Akuntansi Di Indonesia Pada
waktu Indonesia merdeka, ada satu orang akuntan pribumi, yaitu Prof. Dr.
Abutari, sedangkan Prof. Soemardjo baru menyelesaikan pendidikan akuntannya di negeri Belanda pada
tahun 1956. Akuntan Indonesia pertama yang merupakan lulusan dalam negeri
adalah Basuki Siddharta, Hendra Darmawan, Tan Tong Djoe, dan Go Tien Siem.
Mereka lulus pada pertengahan tahun 1957, keempat akuntan ini bersama dengan
Prof. Soemardjo memprakarsai berdirinya perkumpulan Akuntan Indonesia.
Dengan menyadari
keindonesiaannya, mereka berkeyakinan bahwa tidak mungkin menjadi anggota NIVA
(Nederlands Insttitute Van Accountants). Mereka juga berpendapat bahwa kedua
lembaga itu dipastikan tidak mungkin akan memikirkan perkembangan dan pembinaan
akuntan di Indonesia.
Pada hari kamis tanggal
17 Oktober 1957, kelima akuntan tadi mengadakan pertemuan di aula Universitas
Indonesia (UI) dan bersepakat untuk mendirikan perkumpulan akuntan Indonesia.
Karena pertemuan tersebut tidak dihadiri semua akuntan yang ada, maka
diputuskanlah untuk membentuk Panitia Persiapan Pendirian Perkumpulan Akuntan
Indonesia. Panitia ini bertugas menghubungi akuntan lainnya untuk
menyatakan pendapat mereka mengenai
usulan pendirian perkumpulan akuntan Indonesia. Dalam panitia itu, Prof.
Soemardjo ditunjuk sebagai ketua, Go Tien Siem sebagai penulis, Basuki
Siddharta nsebagai bendahara, sedangkan Hendra Darmawan dan Tan Tong Djoe
sebgai komisaris. Surat yang dikirimkan pada panitia ke 6 akuntan lainnya
memperoleh jawaban setuju. Perkumpulan yang diberi nama Ikatan Akuntan
Indonesia (IAI) akhirnya terbentuk pada tanggal 23 Desember 1957, yaitu pada
pertemuan ketiga yang diadakan di aula UI pada pukul 19.30.
Sumber : Bisiranawati dan
Hapsari .(2014). Sejarah Perkembangan Akuntansi Indonesia dan Akuntansi Internasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar